Ikan lele
(Clarias Sp.) banyak tersebar di perairan Asia dan Afrika. Jenis ikan
lele sangat banyak, tidak semua ikan lele cocok untuk dibudidayakan dan
dikonsumsi. Hanya dari jenis-jenis tertentu saja yang bisa dibudidayakan untuk
tujuan konsumsi.
Jenis-jenis
ikan lele yang dibudidayakan biasanya memiliki sifat unggul seperti
pertumbuhan cepat dan tahan terhadap penyakit. Selain itu, ia harus bisa tumbuh
dan berkembang dalam lingkungan yang mempunyai kepadatan tinggi dan kondisi air
minim.
Ikan lele
banyak hidup di perairan air tawar hingga air payau. Beberepa peternak lele di
Pantura Jawa berhasil membudidayakan ikan lele di tambak bekas bandeng dan
udang. Pada dasarnya, ikan lele hidup secara nocturnal, aktif bergerak
di malam hari. Di perairan bebas lele berada di tempat-tempat air tergenang
yang cenderung tenang seperti rawa, danau dan daerah sungai yang agak
terlindung. Biasanya ikan ini memilih tempat-tempat yang teduh dan membuat
lubang-lubang ditanah.
Ikan lele
termasuk pada jenis ikan karnivora atau pemakan daging. Di alam ikan ini
menyantap cacing, kutu, larva serangga dan siput air. Pada keadaan
tertentu ia bisa memangsa sesamanya alias kanibal. Biasanya, ikan lele menjadi
kanibal karena tak ada makanan lain dan faktor perbedaan ukuran. Lele yang
lebih besar akan memangsa kawanan yang lebih kecil.
Ikan lele
berkembang biak dengan telur, dan telurnya dibuahi secara eksternal. Musim
perkembangbiakan lele secara massal terjadi diawal musim hujan. Dibeberapa
kasus masih membiak sepanjang musim hujan. Ikan lele memijah didorong oleh
faktor kelimpahan air dan kualitas air, dimana pada musim hujan air cukup
banyak dan kualitasnya lebih baik. Lele juga memijah ketika ada rangasangan
berupa bau tanah. Tanah yang terjemur kemudian terendam air akan mengeluarkan
bau khas yang merangsang ikan memijah. Kondisi ini biasanya terjadi saat hujan
tiba.
Di
Indonesia, setidaknya terdapat dua spesies ikan lele yang biasa dibudidayakan
masyarakat. Yaitu spesies Clarias Batrachus dan Clarias Gariepinus.
Dari dua spesies ini, ada beberapa ikan lele yang dikategorikan unggul yaitu
lele dumbo, lele sangkuriang dan lele phyton. Setiap jenis ikan lele tersebut
memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berikut penjelasan dari
jenis-jenis ikan lele budidaya di Indonesia.
1.
Ikan lele lokal
Ikan lele
lokal memiliki nama latin Clarias Batrachus, merupakan jenis ikan lele
yang dikenal luas di masyarakat. Sebelum lele dumbo diperkenalkan di Indonesia,
para peternak biasa membudidayakan ikan lele jenis ini. Namun saat ini sangat
jarang peternak yang membudidayakan jenis lele lokal karena dipandang kurang
menguntungkan. Lele lokal memiliki Food Convertion Ratio (FCR) yang
tinggi, artinya rasio pakan yang diberikan terhadap berat daging yang
dihasilkan tinggi. Perlu lebih dari satu kilogram pakan untuk menghasilkan satu
kilogram daging dalam satu siklus budidaya. Selain itu, pertumbuhan lele lokal
terbilang sangat lambat. Lele lokal yang berumur satu tahun masih kalah besar
dengan lele dumbo berumur 2 bulan!
Terdapat
tiga jenis lele lokal yang ada di Indonesia, yaitu lele hitam, lele putih atau
belang putih dan lele merah. Diantara ketiga jenis lele itu, lele hitam paling
banyak dibudidayakan untuk konsumsi. Sedangkan lele putih dan merah lebih
banyak dibudidayakan sebagai ikan hias. Lele lokal memiliki patil yang tajam
dan berbisa, terutama pada lele muda. Apabila menyengat, racun yang terdapat
pada patil bisa membunuh mangsanya dan bagi manusia bisa membuat bengkak dan
demam.
2.
Ikan lele dumbo
Ikan lele
dumbo pertama kali didatangkan ke Indonesia dari Taiwan pada tahun 1985. Ikan
ini menjadi favorit dikalangan peternak karena pertumbuhannya yang cepat dan
badannya yang bongsor dibandingkan dengan lele lokal. Sebagai perbandingan,
lele dumbo berumur 2 bulan besar badannya bisa dua kali lipat dibanding lele
lokal berumur satu tahun.
Menurut
keterangan eksportirnya, lele dumbo merupakan hasil perkawinan antara Ikan lele
asal Taiwan Clarias Fuscus dengan ikan lele asal Afrika Clarias
Mosambicus. Namun keterangan lain menyebutkan lele dumbo lebih mirip dengan
Clarius Gariepinus yang hidup di perairan Kenya, Afrika. Banyak
literatur yang menggolongkan lele dumbo kedalam jenis yang kedua, termasuk
artikel ini. Untuk pastinya, perlu penelaahan lebih lanjut dalam mengungkap
asal-usul lele dumbo.
Dari sisi
fisik, ikan lele dumbo bisa dibedakan dengan lele lokal dari warnanya yang
hitam kehijauan. Lele dumbo juga akan bereaksi ketika terkejut atau stres,
kulitnya berubah menjadi bercak-bercak hitam atau putih dan kemudian akan
berangsur-angsur kembali ke warna awal. Lele dumbo memiliki patil seperti lele
lokal, namun patilnya tidak mengeluarkan racun. Lele dumbo juga cocok
dipelihara di kolam tanah karena tidak mempunyai kebiasaan membuat lubang.
Secara umum, lele dumbo bisa tumbuh lebih cepat, lebih besar dan lebih tahan
terhadap penyakit dibanding lele lokal. Namun dari sisi rasa, daging lele dumbo
lebih lebih lembek. Sebagian orang menganggap daging ikan lele lokal lebih enak
rasanya dibanding lele dumbo.
3.
Ikan lele sangkuriang
Ikan lele
sangkuriang resmi dilepas oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun
2004. Penelitian ikan lele sangkuriang dilakukan oleh Balai besar pengembangan budidaya air tawar Sukabumi sejak tahun
2002. Penelitian ini berawal dari kekhawatiran para peternak dengan menurunnya
kualitas lele dumbo yang beredar di masyarakat. Penurunan disebabkan oleh
kesalahan dalam menghasilkan benih dan penyilangan yang terjadi secara terus
menerus. Hingga akhirnya diupayakan untuk mengembalikan sifat-sifat unggulnya
dengan cara persilangan balik (back cross).
Ikan lele
sangkuriang dihasilkan dari indukan betina lele dumbo generasi ke-2 atau F2 dan
lele dumbo jantan F6. Induk betina merupakan koleksi BBPAT, keturunan F2 dari
lele dumbo yang pertama kali didatangkan pada tahun 1985. Sedangkan indukan
jantan merupakan keturunan F6 dari keturunan induk betina F2 itu. Penamaan
Sangkuriang diambil dari cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang anak yang
bernama Sangkuriang yang mengawini ibunya sendiri. Sama seperti yang dilakukan
BBPAT yang mengawinkan lele jantan F6 dengan induknya sendiri lele betina F2.
Dari hasil
perkawinan ini ternyata didapatkan sifat-sifat unggul seperti kemampuan
bertelur hingga 40.000-60.000 butir per sekali pemijahan. Jauh berbeda dengan
kemampuan bertelur ikan lele lokal yang berkisar 1.000-4.000 butir. Lele
Sangkuriang juga lebih tahan terhadap penyakit, dapat dipelihara di air minim,
dan kualitas daging yang lebih baik.
Hanya saja
kelemahannya, peternak tidak bisa membenihkan lele Sangkuriang dari induk lele
Sangkuriang. Apabila ikan lele Sangkuriang dibenihkan lagi, kualitasnya akan
turun. Jadi pembenihan lele Sangkuriang harus dilakukan dengan persilangan
balik.
Saat ini
BBPAT sedang menggodok varian baru lele Sangkuriang, yaitu ikan lele
Sangkuriang II. Jenis ini merupakan perbaikan dari Sangkuriang I. Ikan lele ini
persilangan antara indukan jantan F6 Sangkuriang I dengan indukan betina F2
lele dari Afrika. Indukan lele Afrika dipilih karena ukurannya yang besar, bisa
sampai 7 kilogram. Hal ini dipandang bisa memperbaiki sifat genetis lele
Sangkuriang. Berdasarkan pemulianya, yaitu BBPAT, ikan lele Sangkuriang II
pertumbuhannya lebih besar 10 persen ketimbang Sangkuriang dan bobotnya pun
lebih bongsor.
Ikan lele
sangkuriang II belum dilepas secara bebas. Pihak BBPAT masih melakukan uji multilokasi
di daerah Bogor (Jawa Barat), Gunung Kidul (Yogyakarta), Kepanjen (Jawa
Timur) dan Boyolali (Jawa Tengah). Daerah tersebut memang dikenal
sebagai sentra-sentra produksi lele nasional.
4.
Ikan lele phyton
Berbeda
dengan varietas unggul lainnya yang biasanya ditemukan oleh para peneliti, ikan
lele phyton ditemukan oleh para peternak ikan lele di Kabupaten Pandeglang,
Banten, pada tahun 2004. Ikan lele phyton merupakan hasil dari silangan induk
lele eks Thailand F2 dengan induk lele lokal. Sayangnya tidak diketahui apa
spesies dari indukannya dan dari generasi keberapa indukan ikan lele lokalnya
berasal. Menurut para penemunya, indukan didapat dari ikan lele lokal yang
banyak dibudidayakan masyarakat setempat secara turun temurun. Tapi berdasarkan
beberapa literatur, lele phyton berasal dari induk betina lele eks Thailand F2
dengan induk jantan lele dumbo F6.
Ikan lele
phyton mempunyai ketahanan terhadap cuaca dingin, tingkat kelangsungan hidup (survival
rate) lebih dari 90%. Sementara itu, FCR mencapai 1, artinya satu kilogram
pakan menjadi satu kilogram daging dihitung mulai benih ditebar sampai panen
dengan siklus pemeliharaan selama 50 hari.
Pada
awalnya proyek Ikan lele phyton ini dilakukan untuk menjawab keluhan para
peternak lele di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang. Mereka sering mengalami
kerugian karena tingkat mortalitas yang tinggi dari benih lele yang dibeli
dipasaran, seperti lele dumbo. Benih lele tersebut rupanya tidak cocok
dibudidayakan di Desa Banyumundu yang beriklim dingin, pada malam hari berkisar
17 derajat celcius. Dengan metode try and error selama lebih dari
2 tahun akhirnya mereka menemukan varietas lele yang kemudian dinamakan Ikan
lele phyton. Kualitas lele phyton ini juga diakui oleh Dinas Perikanan Budidaya
Provinsi Banten.
Sesuai
dengan namanya, lele phyton memiliki bentuk kepala seperti ular phyton.
Gerakannya lebih lincah dari lele dumbo dan rasa dagingnya lebih gurih, tidak
lembek. Dari segi rasa, lele phyton lebih mendekati lele lokal.
No comments :
Post a Comment
Mohon Untuk tidak komentar berbau SARA, ASUSILA dan JUDI
Thanks... sakam strikee